Kisah yang tak Kesah

  • Home
  • Contact Person
    • Whatsapp
    • Line
    • BBM
  • Parent Category
    • Child Category 1
      • Sub Child Category 1
      • Sub Child Category 2
      • Sub Child Category 3
    • Child Category 2
    • Child Category 3
    • Child Category 4
  • Featured
  • Health
    • Childcare
    • Doctors
  • Home
  • Nona Flanel
    • Boneka Wisuda
    • Boneka Profesi
    • Bouquet Bunga
  • Nona Jewelry
    • Aneka Cincin
    • Aneka Gelang
    • Aneka Kalung
  • Tutorial
    • Flanel
    • Wire Accessories
  • Tulisan
    • Cerpen
    • Opini

Rabu, 26 November 2014

sekerat malam

 Unknown     07.41     sastra     No comments   


SEKERAT MALAM
Oleh Susanti Rahim


Malam. Mobil melaju dengan kecepatan sedang bersama puluhan pasang sorot lampu yang sejalan . Di dalam, kami saling bercerita tentang kegiatan yang ia lakukan tadi. gelak tawa mengisi renyah dalam kereta. Suamiku bisa dibilang masih baru bergelut dalam dunia enterpreneur, disela kerja kantoran yang katanya membosankan. Dunia enterpreneur lebih kebentuk usaha moderen kalau menurutku. Menggunakan kekuatan branding, dan dunia maya sebagai pasar utama. Ia baru saja pulang dari sebuah workshop kewirausahaan dengan harga setengah juta di sebuah universitas di kota kami. Tapi itu belum seberapa baginya, sebab ia juga pernah mengikuti enterpreneur camp di Surabaya, dengan dana sekitar lima juta. Dan sebelum itu ia juga ikut workshop kartu kredit. Tak mengapa, katanya. Ilmu itu harus di jemput.
            Namun, bagiku bergelut di dunia usaha bukan hal baru. Semenjak kecil, aku telah mewarisi darah wirausaha kedua orang tua. memang hanya berdagang kecil-kecilan, meski dengan cara tradisional. Tapi cukup untuk membeli vespa, ansuran rumah, dan tabungan berupa perhiasan yang berhasil dikumpulkan ibu. Sedang aku, ketika duduk di bangku pertama sekolah dasar telah memutar otak dengan menjual jambu yang tumbuh di halaman belakang rumah tante untuk kujual ketetangga dengan harga seratus rupiah perbuahnya.  Jika Mail adalah tokoh laki-laki dalam cerita Upin Ipin, maka aku adalah versi perempuannya.
            Kereta berhenti saat bertemu dengan lampu merah –atau lampu lalu lintas lebih tepatnya. Bukan pemandangan yang aneh lagi jika kau menemukan orang-orang berserak di pinggir jalan. Jika ia lelaki remaja, akan ada sebuah gitar di tangannya. Kalau ia anak-anak — baik laki-laki maupun perempuan, ember kecil dan tangan merupakan satu kesatuan. Ada pula yang memegang kemoceng lusuh. Mengelap-ngelap mobil yang berhenti. Semua ada. Mulai dari yang sehat, sampai yang buta, pincang, hingga tak mampu berjalan.
            Seorang anak perempuan kecil berumur sekitar dua tahun merenggut perhatianku. Dengan jilbab mungil yang ia kenakan, celana jeans seperdelapan dan baju merah lengan pendek. Ia membawa ember kecil di tangan kanan. Menengadah ke atas sambil berjalan dan menggoyang-goyangkan ember yang dipegang. Langkah-langkah mungil ia ciptakan tanpa mengenakan alas kaki. Hatiku bak dipiuh. Tak jauh dari gadis mungil itu aku melihat seorang wanita separuh baya tengah duduk teronggok di trotoar jalan. Celana sengan lutut, baju sengan siku dan songkok sengan dada. Celingak-celinguk memandang entah. timbul rasa jijik yang tak terperi.
“Ya Tuhan.” Tak tahan aku untuk bergumam, lirih.
            “Meski Raja berganti, yang dayang tetap jua jadi tukang kipas, Dik.” Suamiku mengusap kepalaku. Merebahkannya ke bahu. Ia memang sering bisa menangkap isi kepalaku. “Yang duduk itu, entah ibunya entah bukan. Aku juga selalu memperhatikan, ketika pergi dan pulang dari kantor. Yang buta itu, kau lihat? Pendampingnya sering bertukar ganti. Bahkan kabarnya mereka ini juga ada Asosiasi persatuan pengemis sekota Padang. Sekre mereka di belakang kantor pos. Fungsinya pemerataan tugas untuk mengemis. Di tiap simpang, ditiap tempat makan mereka akan ada. Sekarang, mengemis dan memalak sudah silit dibedakan, Dik.”
            Lampu telah hijau, mobil kembali melaju dengan kawanan lain. Tempat yang dituju hampir dekat. Tapi sayang, ternyata Warung Pecel Ayam langganan kami sedang tutup. Kemudian kami diskusi lagi tentang perkara “Makan apa?”. Sungguh betapa bersyukur karena kami masih mampu menyerukan “Makan apa?”, sedang di tempat yang entah, ada mereka yang ditarak petanyaan, “Apa makan?”
Awalnya terlintas di benakku untuk makan mie goreng di Simpang Kinol, tapi urung. Suamiku teringin Pecel Ayam. Sepakat, pecel ayam pinggir jalan di Jati. Kereta melaju membelah jalanan.
            Setibanya di tempat, Kami masih melanjutkan percakapan workshop suamiku yang tadi. Workshop kali ini terlalu banyak orang, katanya. Masa pesertanya saja seratus? Itu lebih mirip seminar ketimbang workshop. Saat yang satu sedang presentasi di depan, yang lain asik ribut di belakang. Workshop itu membuatnya mengantuk. Apa karena agak murah makanya banyak yang ikut, aku jua tak paham.
Obrolan makin menarik. Namun satu pemandangan lebih menarik perhatian kami. Dua orang bocah laki-laki yang mulanya kupikir ingin ikut  memesan, tapi malah mencari-cari posisi. Bisa kuperkirakan umurnya sekitar sembilan dan tujuh tahun
            “permisi bapak , ibuk, uni, uda, kami ingin ngamen.” Bocah yang lebih kecil bersuara. Mereka hanya membawa badan. Kemudian mulai menepuk-nepuk tangan. Berdendang. Lagu pop dari sebuah grup band. Aku kehilangan nafsu makan. Nasi yang masih tersisa setengah, tak sanggup aku lanjutkan. Setelah nyanyian selesai, kukira mereka akan berhenti dan mengunjungi meja-meja lalu pergi. Namun aku salah. Ada desis bisikan sekilas antara mereka berdua. Kemudian menyanyikan lagu kedua.
            “Bak kato balam padi rabah, salamo kami ayah tinggakan, iduik kami batambah susah, dunsanak lai balanteh angan. Manangih denai dalam rasian, mangana untuang nasib nanko, harato bando mandeh ndak punyo....”
            Mendengar lagu itu lantas saja membuatku langsung membasuh tangan. Enggan melanjutkan makan. Aku melihat sekitar. Pelanggan lain tersenyum-senyum mendengar dendang yang mereka bawakan. Senyum yang entah. Dan aku mengutuk dalam hati. Tahu benar mereka cara mengambil simpati. Dendangan tentang anak yang di tinggalkan oleh seorang Ayah, lantas saudara yang tak mempedulikan, dan  ibu yang tak lagi memiliki harta benda. Kenapa mereka tak terfikir untuk menjual jambu seperti yang dulu pernah aku lakukan. Aku bukan menjadi simpati, malah jadi benci. Yang pasti bukan dengan mereka. Barangkali caranya. Aku tak habis pikir. Dunia apa yang sedang aku huni. Apa ini sudah terjadi semenjak dahulu, atau hanya aku yang baru tahu. Kata “mengapa” bertubi menggelinjang di kepala dan batinku. Siapa dalang dari semua ini. Dan mereka masih melanjutkan dengan lagu ketiga. Masih menepuk-nepuk tangan, menciptakan bunyi.
Yang paling besar menghampiri pelanggan satu persatu. Meminta uang. Hingga ia sampai ke meja kami. Suamiku merogoh saku. Sontak kuucap “Jangan!” sambil melayangkan pandang membelakangi bocah itu. Aku tak tahu  ekspresi apa yang ia tinggalkan di meja kami.
Gerimis lalu hujan menemani jalan pulang. Dalam perjalanan, aku lebih banyak diam. Aku lega, setidaknya lampu merah tak mengganggu batinku sebab para pengemis itu kocar-kacir tak ingin basah. Tapi ada satu dua, kala hujan seperti ini, ember untuk menampung uang beralih fungsi menjadi ember air sabun. Tugas mereka mencuci kaca mobil yang berhenti di lampu merah.
 Dekat simpang, dari kejauahan ada banyangan hitam. Saat mobil perlahan mendekat, aku menemukan seorang lelaki tengah duduh bersimpuh. Usianya entahlah. Yang jelas masih muda. Berjalan menginsut dalam hujan lebat. Merengek. Oh!
“kalau tidak hujan, ia tidak ada. Tapi kalau hujan, dia ada. Apakah itu?” Ucapan Suamiku bernada tebak-tebakan. Tapi aku yakin dia tidak sedang bermain tebak-tebakan. Pengendara mobil di depan melempar koin kearah lelaki yang tengah melepoh itu. ia berinsut-insut persis seperti jalan suster ngesot, mengambil koin yang masih terdengar bunyi dencing saat beradu dengan aspal itu. kedua kaki yang ia miliki hanya sampai lutut. Entahlah,  tapi Ia sangat memaksimalkan kekurangan untuk merenggut simpati orang lain. Cerdas!
Air mata yang jatuh ke dalam, salah satunya bisa terkumpul dan berubah menjadi ludah.    Kuperhatikan lama. Lelaki itu duduk di aspal menengadahkan tangan di bawah hujan. Dan  kini piuhan hati itu bertambah kuat memintal. Tanpa tahu apa yang harus dilakukan untuk merubah keadaan. 
***
  • Share This:  
  •  Facebook
  •  Twitter
  •  Google+
  •  Stumble
  •  Digg
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke Facebook
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

  • Awkarin, Remaja yang Dahulu Katanya Berhijab, Sebenarnya...
    Belakangan nama Karin Novilda atau lebih dikenal dengan nama Awkarin ramai diperbincangkan oleh pengguna internet. Awkarin memulai keten...
  • Resensi Labirin Sang Penyihir
    Judul: Labirin Sang Penyihir Pengarang: Maya Lestari Gf Penerbit: Kakilangit Kencana Sampul: Doff Cover (Soft Cover yang di...
  • Sebenarnya 'Raja' dan 'Kaisar' itu sama atau beda, ya?
    Saya tidak sengaja menyukai  ceritanya.  Ini bermula ketika saya menjadi salah satu peserta pelatihan esai tingkat remaja yang diadakan ...
  • Ustaz: Dahulu dan Kini
    Ustaz: Dahulu dan kini Esai Susanti Rahim Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), uztaz berarti guru agama atau guru besar (laki-l...
  • Perkenalan
    PERKENALAN -“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah”- P...
  • ANGKOT
    Oleh Susanti Rahim Masih jelas saat Buk Pau – guru sekolah dasar — mengatakan jika akhiran ‘ber’ itu menyatakan musim hujan, “ Jadi kali...
  • sekerat malam
    SEKERAT MALAM Oleh Susanti Rahim Malam. Mobil melaju dengan kecepatan sedang bersama puluhan pasang sorot lampu yang sejalan...
  • Lorong
    lorong kemanusiaan kian membeku. joget manusia semakin memburu. lagu-lagu makin memburu nafsu. biaya ilmu kian tinggi. yang kaya makin ka...
  • INAI DI JARI IBU
    Oleh: Susanti Rahim Esok adalah helat pernikahan yang akan aku jalani. Pelaminan merah telah terpajang anggun, di sana aku akan ...
  • GULI
    Cerpen Susanti Rahim Seperti pagi yang pertama kali hadir di jagat bumi. Ulah ledakan yang menciptakan matahari. Sejak air pertama me...

Coba Klik Gambar dibawah ini!

Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

Unknown
Lihat profil lengkapku

Copyright © Kisah yang tak Kesah | Powered by Blogger
Design by Hardeep Asrani | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Distributed By Gooyaabi Templates