Kisah yang tak Kesah

  • Home
  • Contact Person
    • Whatsapp
    • Line
    • BBM
  • Parent Category
    • Child Category 1
      • Sub Child Category 1
      • Sub Child Category 2
      • Sub Child Category 3
    • Child Category 2
    • Child Category 3
    • Child Category 4
  • Featured
  • Health
    • Childcare
    • Doctors
  • Home
  • Nona Flanel
    • Boneka Wisuda
    • Boneka Profesi
    • Bouquet Bunga
  • Nona Jewelry
    • Aneka Cincin
    • Aneka Gelang
    • Aneka Kalung
  • Tutorial
    • Flanel
    • Wire Accessories
  • Tulisan
    • Cerpen
    • Opini

Sabtu, 26 Desember 2015

GULI

 Unknown     21.33     cerpen, guli, melayu, sastra     No comments   


Cerpen Susanti Rahim

Seperti pagi yang pertama kali hadir di jagat bumi. Ulah ledakan yang menciptakan matahari. Sejak air pertama menjatuhi bumi. Sejak hitam pertama kali diucap hitam. Sejak sajak menjelma jejak. Sejak itu pula tiap hal menarik untuk dilirik, ditatap, ditegur, apalagi dicatat.
Saat sebuah akhir mampu diubah, nak ke mana sesal kan berpulang.
Bak hari kebanyakan, saat orang tua keluar mencari makan ke tempat peraduan, budak-budak tak bersekolah bermain berkeliaran. Anak jantan mainnya jauh-jauh dari rumah. Mendapat teman di tempat lain. Bermain layang-layang, suruk-benteng1, kejar-lenget2, juga guli dengan berbagai cara permainan. Main tikam, china buta, lubang babi, lubang tiga, lubang enam, dan lubang-lubang lainnya. Sang perempuan calon ibu bermain pondok-pondokan. Meski tak jarang juga calon ibu-ibu itu ikut bermain layang, guli, atau apa pun yang menjadi permainan budak laki-laki. Anak-anak perempuan merasa diri mereka hebat saat mereka memainkan apa yang dimainkan oleh anak laki-laki, tetapi dianggap wadam jika lelaki memainkan permainan perempuan. Entah bermula dari kapan, barangkali kala Kartini, oh bukan, maaf, Cut Nyak Dien. Barangkali Cut Nyak Dien, oh maaf lagi, bukan, bukan Cut Nyak Dien, entahlah, entah perempuan yang mana.
            Di atas rumput sebuah tanah luas terenyak tiga pantat anak-anak gadis kecil yang sedang bermain pondok-pondokan. Menimang-nimang, memasak-masak, berjual-jualan kemudian membeli dengan uang dari daunan. Tak jauh dari sana, empat pasang kaki berpijak pada rumput-rumput pendek yang masih menyimpan embun malam tadi. Kaki tanpa alas kaki. Kuku hitam banyak tahi.
            “Berapa banyak guli yang kaubawa?”
            “Aku segini.”
            “Aku satu kaleng.”
            “Aku tak punya.”
“Hah? Ke mana semua guli yang kemarin kaumenangkan?” Arip terheran.
“Aku jual biar dapat uang.”
“Kaujual?! Dapat uang?!” ternganga Eman dibuatnya. “Bisa dapat uang dari guli?”
“Iya. Beri aku modal. Saat menang nanti, kita kongsi, kita jual dan uangnya bisa kita bagi dua.” Dengan nada bangga Iday melontarkan kata-katanya. Ipad tertarik, geraknya terbaca oleh Arip.
“Tidak mau. Kalau Ipad dan Iday berkongsi, aku tidak ikut main.” Arip mengelak.
“Eh, tak apa. Aku kongsi dengan dia, kaukongsi dengan Eman. ”
“Tidak. Tetap aku tak hendak. Enak saja kausandingkan aku dengan dia. Tak sudi.” Ipad memberang. Tapi sebenarnya ia takut kalah. Eman tak terlalu mahir bermain. Tidak ada orang yang ingin kalah. “Kau saja dengan Eman. Aku dengan Iday,” Ipad membalikkan pernyataan.
Arip kuncun3. Jelas Arip juga tak ingin menyandang selempang kekalahan.
Permainan guli dimulai tanpa keturutsertaan Iday. Arip, Eman, dan Ipad mulai memainkan semua permainan guli yang mereka ketahui. Silih berganti. Menang, kalah, menang, kalah, menang, kalah, kalah. Eman kalah telak. Guli yang tadinya satu kaleng, kini tinggal tak beberapa butir di tangan. Eman kesal. Ia merasa diperolok. Tapi tak menyerah. Mencari akal supaya menang. Ingin bermain curang, tapi bagaimana mungkin. Kecurangan tak bisa dibuat dalam permainan ini. Ingin mengajak Iday yang sedari tadi hanya menyaksikan permainan dengan berubah-ubah posisi—dari jongkok, berdiri, menungging seperti orang rukuk, kemudian berdiri lagi—tapi diurungkan. Namun ketika melihat guli yang hanya tinggal beberapa butir di tangan, hasrat Eman mengajak Iday kembali  membuncah. Eman mencari-cari akal.
“Iday. Kau gantikan aku bermain sebentar. Aku sesak berak4.” Eman bersorak, dan tanpa ba bi bu meninggalkan guli di tanah, langsung berhambur pergi. Eman berharap besar Iday menang, dan hasil dari uang penjualan guli bisa dibagi dua.
Arip dan Ipad tak mampu menyanggah lagi. Awalnya takut kalah, tapi mengingat guli yang hanya tinggal sedikit, padamlah ketakutan mereka. Kecil kemungkinan Iday akan menang dengan guli yang hanya tinggal beberapa butir.
Pertarungan berlanjut tanpa Eman. Permainan guli pertama, Iday kalah. Permainan kedua menang. Permainan ketiga menang lagi. Permainan selanjutnya bertubi-tubi ia menang. Kini guli yang hanya beberapa butir sudah memenuhi setengah kaleng. Iday makin yakin dengan kemahirannya dan ingin mempercepat usainya permainan itu. Iday bertaruh dengan seluruh guli yang dimenangkan tadi, membuat Arip dan Ipad awalnya menjadi takut, tetapi mereka juga panas dan tak mau dianggap penakut. Tantangan Iday diterima. Malang tak mampu dielak, Iday kalah, tak sebutir guli pun kini di tangan. Nyawa Arip dan Ipad yang tadi sudah setengah hilang, kini terkumpul kembali.
 Eman kembali, arkian mendapati tak ada guli di kalengnya ataupun di tangan Iday. Pupus harapan Eman tentang kemenangan, tentang uang. Eman merogoh kocek, mengeluarkan uang seribu untuk membeli guli. Kini Eman bermain hati-hati. Sedikit kegegabahan ia tak bermodal lagi. Di kepalanya hanya ada keinginan untuk memenangkan permainan, agar mendapatkan uang. Eman mulai tagan sedikit-sedikit.
Semua telah usai. Tuhan memberkati keinginan budak jantan itu. Eman menang. Guli hasil kemenangan itu ia tampungkan ke dalam bagian bawah baju yang ia lipatkan ke atas. Sorak raya kemenangan.
            “Mau kau apakan guli itu, Man?”
            “Kujual biar dapat uang.”
            “Lalu?”
“Aku mau beli sesuatu untuk bapakku.”
            “Kau mau belikan apa? Rumah?! Ha ha ha.”  Arip, Ipad, dan Iday tertawa.
“Bukan!”
“Lantas?”
“Bunga.”
Tetiba semua bungkam. Saling pandang, dan tertawa terpingkal-tingkal. Lama.
“Banci Bapak kau, Man? Ha ha ha.” Semakin menjadi-jadi mereka tertawa. Eman tak memedulikan. Dalam benaknya kini uang, uang, uang, uang, uang. Ia buru-buru lari, bukan disebabkan oleh cemeeh yang mengatakan bapaknya banci.
Uang uang uang uang uang. Komat-kamit dalam kepala Eman hingga sampai ia di sumur rumah. Semua guli itu ia masukkan ke dalam sebuah ember. Sampai usai menimba air pun, yang ada di kepalanya adalah uang uang uang uang uang.
Baju Eman sedikit basah. Diambilnya kain lap lantai. Dikirap, arkian dikembangkan di lantai. Guli dalam ember dikeluarkan. Diletakkan di atas kain. Dilapnya, kering-kering angin. Dibungkusnya lagi dengan baju miliknya. Tak lupa  ditinggalkannya sedikit untuk modal bermain nanti.
Uang uang uang uang uang. Sampailah ia ke tempat kedai yang menjual guli. Dari guli ukuran sekecil telur cicak hingga sebesar bola pimpong.
Kini di tangan Eman sudah ada bunga. Dipercepatnya langkah kaki menuju sebuah kompleks. Ia sudah hapal sekali letak tempat yang sedang ia kunjungi itu.  Kemudian ia berhenti dengan langkah pasti. Hampir tak pernah ia membawa rangkaian bunga besar sebesar itu–hingga menutupi seluruh muka dan dadanya—bunga warna-warni. Eman berdecak bangga. Dalam kebanggaan dan kebahagiaan Eman duduk mencangkung. Dicabutinya beberapa rumput liar yang mengitari gundukan tanah itu, sembari meletakkan bunga dekat papan yang terpancang di salah satu ujung gundukan. Eman bangga. Memberi bunga pada bapak!
                                                               
1Petak Umpet
2permainan kejar-kejaran.
3merasa bersalah atau kalah seperti bunga yang kuncup
4Buang air besar



  • Share This:  
  •  Facebook
  •  Twitter
  •  Google+
  •  Stumble
  •  Digg
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke Facebook
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

  • Awkarin, Remaja yang Dahulu Katanya Berhijab, Sebenarnya...
    Belakangan nama Karin Novilda atau lebih dikenal dengan nama Awkarin ramai diperbincangkan oleh pengguna internet. Awkarin memulai keten...
  • Resensi Labirin Sang Penyihir
    Judul: Labirin Sang Penyihir Pengarang: Maya Lestari Gf Penerbit: Kakilangit Kencana Sampul: Doff Cover (Soft Cover yang di...
  • Sebenarnya 'Raja' dan 'Kaisar' itu sama atau beda, ya?
    Saya tidak sengaja menyukai  ceritanya.  Ini bermula ketika saya menjadi salah satu peserta pelatihan esai tingkat remaja yang diadakan ...
  • Ustaz: Dahulu dan Kini
    Ustaz: Dahulu dan kini Esai Susanti Rahim Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), uztaz berarti guru agama atau guru besar (laki-l...
  • Perkenalan
    PERKENALAN -“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah”- P...
  • ANGKOT
    Oleh Susanti Rahim Masih jelas saat Buk Pau – guru sekolah dasar — mengatakan jika akhiran ‘ber’ itu menyatakan musim hujan, “ Jadi kali...
  • sekerat malam
    SEKERAT MALAM Oleh Susanti Rahim Malam. Mobil melaju dengan kecepatan sedang bersama puluhan pasang sorot lampu yang sejalan...
  • Lorong
    lorong kemanusiaan kian membeku. joget manusia semakin memburu. lagu-lagu makin memburu nafsu. biaya ilmu kian tinggi. yang kaya makin ka...
  • INAI DI JARI IBU
    Oleh: Susanti Rahim Esok adalah helat pernikahan yang akan aku jalani. Pelaminan merah telah terpajang anggun, di sana aku akan ...
  • GULI
    Cerpen Susanti Rahim Seperti pagi yang pertama kali hadir di jagat bumi. Ulah ledakan yang menciptakan matahari. Sejak air pertama me...

Coba Klik Gambar dibawah ini!

Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

Unknown
Lihat profil lengkapku

Copyright © Kisah yang tak Kesah | Powered by Blogger
Design by Hardeep Asrani | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Distributed By Gooyaabi Templates