Kisah yang tak Kesah

  • Home
  • Contact Person
    • Whatsapp
    • Line
    • BBM
  • Parent Category
    • Child Category 1
      • Sub Child Category 1
      • Sub Child Category 2
      • Sub Child Category 3
    • Child Category 2
    • Child Category 3
    • Child Category 4
  • Featured
  • Health
    • Childcare
    • Doctors
  • Home
  • Nona Flanel
    • Boneka Wisuda
    • Boneka Profesi
    • Bouquet Bunga
  • Nona Jewelry
    • Aneka Cincin
    • Aneka Gelang
    • Aneka Kalung
  • Tutorial
    • Flanel
    • Wire Accessories
  • Tulisan
    • Cerpen
    • Opini

Rabu, 17 Juni 2015

INAI DI JARI IBU

 Unknown     21.18     sastra     No comments   




Oleh: Susanti Rahim

Esok adalah helat pernikahan yang akan aku jalani. Pelaminan merah telah terpajang anggun, di sana aku akan duduk  bersama calon suamiku setelah akad nikah esok pagi. Kami akan mengikat janji sehidup semati. Tinggal inaiku saja yang belum terpasang di kuku. Sudah menjadi tradisi di kampung ini akan malam bainai. Pengantin wanita atau yang disebut anak daro dilekatkan inai pada tiap ujung jari, begitu pula dengan marapulai atau pengantin laki-laki.
            Ibu menatapku lekat. Ada haru, cemas, dan juga bahagia serta semeraut rasa yang entah apa pada tatapan itu. Barangkali ibu khawatir, atau barangkali ibu malah takut. Tentang pernikahan, bukan hal main-main meski di dalamnya terkadang ada permainan.
Pengalaman Ibu yang gagal, sebab suaminya menikah lagi menjadikan Ibu ikut andil dalam pemilihan bakal calon suamiku. Sejak mulai SMA, Ibu mewanti-wanti tiap  laki-laki yang bertamu ke rumah. Pernah sekali, Aku ketahuan menjalin kedekatan dengan kakak kelas dan itu menyebabkan Ibu marah besar.
‘Tidak ada gunanya berpacaran dengan anak SMA yang masih ingusan. Tak ada guna. Perbedaan umur yang hanya satu tahun menyebabkan ego kalian masih tinggi satu sama lain. tak ada yang mau mengalah jika suatu saat terjadi pertengkaran. Aku bukan melarang kau berhubungan, tapi harus dengan orang yang jauh lebih tua denganmu dan sudah memiliki kedudukan tetap, yang bisa menjamin masa depanmu. Aku tak akan melarang. Jangan jadi seperti aku. Dulu karena cintaku pada ayahmu, bahkan aku rela menolak lamaran pekerjaan sebagai pegawai bank di Jakarta kemudian menikah dengan ayahmu. Rayuan busuknya menghanyutkanku. Aku tak mau jika hal itu terjadi juga padamu. Hanya itu.”
Ibu menggeturu berjam-jam. Kemudian dilain hari saat aku melakukan kesalahan seperti memecahkan gelas, atau terlambat mengerjakan pekerjaan rumah, ibu kembali mengomeliku dan menyisipi omelan yang sama dengan kemarin. Tak pernah berkesudahan. Sampai bosanku terbit akibat mendengar celoteh ibu yang tiap hari itu ke itu saja.
 “Kau memang tak pernah mendengar. Kau harus menikah dengan seorang pegawai.” ibu selalu menekankan suamiku harus seorang pegawai. Kelak akhirnya aku mengerti semua maksud ketakutan Ibu. Yang ia lakukan semata karena ia sayang. Ia tak ingin aku menanggung rasa sakit yang pernah dirasakannya. Aku ingat, setelah bepisah dengan ayah, tiap pagi mata ibu sembab, bengkak, hingga biji matanya hampir tak terlihat. Entah beban mental seperti apa yang dialaminya dulu. Tak mau ia bercerita dengan kami.
Ayah dinikahkan lagi oleh ibunya. Pulang ke bako. Istilah yang tak pernah aku mengerti sebelumnya. Tanpa sepengetahuan ibu, pernikahan siri itu dilangsungkan. Wanita itu membayar lima juta untuk uang  jemputan kepada andung sebagai tanda bahwa pria telah dibeli oleh wanita, dan pihak keluarga pria tidak bisa lagi mengganggu gugat karena si pria sudah hak penuh milik si wanita. Begitulah cara kerja adatnya. Seperti hak kepemilikan barang. Jika kau sudah membeli sesuatu, barang itu milikmu sepenuhnya, dan terserah mau diapakan. Apabila memang dianggap itu barang, tentu jika barang itu baru, maka akan kau asuh. Namun lama kesudahan, jika sudah mulai bosan, tak mengurus yang melekat di badan.
Sebagai orang yang berbeda adat dan budaya dengan Ayah, ibu tidak pernah mengetahui peraturan-peraturan semacam itu. Ayah harus dibeli dengan uang. Ayah sebagai seorang mamak, harus mengemasi dan bertanggung jawab tak hanya pada anak kandungnya, tapi juga bertanggung jawab atas anak-anak yang lahir dari saudara perempuannya. Dulu ketika kami pulang ke kampung ayah, pakaian yang sedang dikenakan oleh ibu atau ayah, bisa diminta oleh saudara-saudara ayah.
“Tinggalkan saja baju ini disini.”
Tinggalkan ini, tinggalkan itu. minta dibelikan ini, minta dibelikan itu. Tak boleh kalah dengan ibu. Emas yang dikenakan ibu, mereka harus punya pula, tanpa tahu bahwa emas yang dikenakan itu berasal dari jerih payah ibu. Pokoknya apa yang ibu miliki, mereka ingin pula. Anak dipangku kemenakan dibimbing. Kata mereka seperti itu. Mana mengerti ibu.
Saat menikah dengan ayah, ibu tak pernah membeli ayah, tidak pernah memberikan uang pada andung sebagai tanda kepemilikan ayah. Ayah juga tidak mempermasalahkan akan hal beli-membeli itu. Ayah begitu mencintai ibu. Dulu.
Setelah bercerai, menjadi seorang janda, ibu selalu diolok-olok para tetangga.
 “Kau tak pernah membeli suamimu, tentu saja mertuamu menjualnya keperempuan lain.”
 “Kau saja yang tak pernah tahu. Dalam adat mereka, laki-laki barulah dikatakan laki-laki jantan jika menikah lebih dari sekali.”
“Jika kau mampu menikah lagi dengan lelaki yang lebih dari suamimu dulu, kau baru bisa dikatakan laku. Itu martabatmu sebagai janda saat ini.”
Memang dari awal, pernikahan  mereka tak pernah direstui oleh andung. Konon saat pernikahan itu berlangsung, andung telah berjanji, jika memang ia tak bisa memisahkan mereka sekarang, ia akan memisahkan mereka nanti.
Malam ini, begitu manis nasehat ibu yang sampai ke telingaku.
“Nak, jika kelak kau bertengkar dengan suamimu, jangan pernah membuang pakaiannya keluar rumah. Itu sama saja dengan mengusir suamimu. Jika itu terjadi kau harus menjemputnya kembali dari rumah orang tua. Dulu ibu tak mengetahui apa-apa tentang hal itu. Yang namanya rumah tangga, pasti ada pasan surut. Dulu Salah seorang teman ibu menyarankan untuk membuang pakaiaan ayahmu jika suatu  saat kami bertengkar lagi. Dan ibu melakukannya.” Ibu mengenang disela merekatkan inai di ujung jariku. “Mungkin kau juga belum mengerti, tapi ibu yakin kau akan tau sendiri saat aku telah berteman dengan budaya mereka. Budaya mereka rumit. Tapi ibu juga percaya padamu.”
Ibu menghela nafas. Cerita ini masih berlanjut. “kau tau, kemenakan ayahmu sampai sekarang belum beristri. Padahal ia seorang lelaki terdidik, sudah memiliki semua hal yang dibutuhkan untuk berumah tangga. Tapi, ibunya mematok harga yang tinggi bagi  wanita yang ingin meminang anaknya.”
Jam menuju pernikahanku kian dekat. Kebahagiaankah yang aku dapatkan hingga kematian, atau malah perceraian. Kepastianku yang selama ini menjadi keragu-raguan ketika mendengar tiap kata demi kata yang terlontar dari mulut rewel ibu. Ada perih yang tergambar pada tiap cerita yang disampaikannya, seolah ia kembali lagi pada masa menggetirkan itu. Meski Ibu sudah  bersuami lagi, namun kegetiran ketika mengingat masa lalu masih tertera.
“Nak, mungkin ini juga tak sepenuhnya salah ayahmu. Dulu, ketika ayahmu mengajak pindah ke tempatnya bekerja, ibu menggelengkannya. Sebab Banyak yang ibu fikirkan. Kamu dan kakakmu sekolah, ibu harus mengurus surat pindah. Jujur ibu takut berhadapan dengan guru apalagi kepala sekolah kalian. Ibu merasa rendah diri. Belum lagi harus mengangkat barang-barang, menyewa kedai untuk tempat ibu berjualan. Sungguh merepotkan dalam otakku.”
Ibu membawa ingatanku dimasa sekolah. Memang tak pernah sekalipun raporku diambilkan oleh ibu. Disaat orang tua teman sekelas berkumpul di ruang kelas, aku menunggu di samping jendela. Mengintip yang terjadi di dalam. Kemudian, setelah semua orang tua murid pulang, baru aku di perbolehkan mengambil bagianku. Guru-guru sudah tau akan hal ini, sebab tak sekali, dua, kejadian yang sama terjadi. Saat aku bertanya pada ibu, Ia memberi berbagai macam alasan untuk menjawab, kedainya tidak bisa ditinggalkan, tak ada yang bisa menjaga, nanti barangnya di curi orang,  dan lainnya.
“Sudah selesai.” Sungging tersimpul indah pada wajah ibu sembari mengeratkan ikatan plastik terakhir membungkus inai agar tak cemot jika aku tidur nanti. ibu telah tuntas melekatkan seluruh inai dijari tanganku. Aku melihat semua jari-jariku. Rapi, meski agak terasa sedikit panas.
Hidungku terasa gatal, aku mencoba menggaruknya dengan punggung tangan, namun agak susah. Tiba saja jari ibu mendarat di hidungku. Ia mengantikan aku menggaruk-garukkan di tempat hidung yang terasa gatal. Terharu, sedih, ingin menangis. Aku melulur air mata. Mungkin aku sedang terbawa suasana.
“esok, saat kau telah menjadi istri orang, jangan pernah kau biarkan suamimu tidak bermalam denganmu. Wanita itu memang sifatnya seorang perayu, jadi kau harus menjadi orang terpintar dalam merayu priamu. Kau harus menjinakkannya dengan kelembutanmu. Manjakan lidahnya dengan masakanmu, rawat dia, perhatikan kebutuhannya. ingat, kebahagiaan rumah tangga itu berawal dari dapur, kemudian baru kasur.” kami berpindah ke kamar.
Makin dekat saja hari menjelang esok. Inaiku sudah terpasang semua, dibiarkan satu malam melekat pada jari. Ibu mengemasi tempat tidur yang berserakan parsel-parsel di atasnya. Malam ini kami tidur berdua.
* 

  • Share This:  
  •  Facebook
  •  Twitter
  •  Google+
  •  Stumble
  •  Digg
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke Facebook
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

  • Awkarin, Remaja yang Dahulu Katanya Berhijab, Sebenarnya...
    Belakangan nama Karin Novilda atau lebih dikenal dengan nama Awkarin ramai diperbincangkan oleh pengguna internet. Awkarin memulai keten...
  • Resensi Labirin Sang Penyihir
    Judul: Labirin Sang Penyihir Pengarang: Maya Lestari Gf Penerbit: Kakilangit Kencana Sampul: Doff Cover (Soft Cover yang di...
  • Sebenarnya 'Raja' dan 'Kaisar' itu sama atau beda, ya?
    Saya tidak sengaja menyukai  ceritanya.  Ini bermula ketika saya menjadi salah satu peserta pelatihan esai tingkat remaja yang diadakan ...
  • Ustaz: Dahulu dan Kini
    Ustaz: Dahulu dan kini Esai Susanti Rahim Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), uztaz berarti guru agama atau guru besar (laki-l...
  • Perkenalan
    PERKENALAN -“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah”- P...
  • ANGKOT
    Oleh Susanti Rahim Masih jelas saat Buk Pau – guru sekolah dasar — mengatakan jika akhiran ‘ber’ itu menyatakan musim hujan, “ Jadi kali...
  • sekerat malam
    SEKERAT MALAM Oleh Susanti Rahim Malam. Mobil melaju dengan kecepatan sedang bersama puluhan pasang sorot lampu yang sejalan...
  • Lorong
    lorong kemanusiaan kian membeku. joget manusia semakin memburu. lagu-lagu makin memburu nafsu. biaya ilmu kian tinggi. yang kaya makin ka...
  • INAI DI JARI IBU
    Oleh: Susanti Rahim Esok adalah helat pernikahan yang akan aku jalani. Pelaminan merah telah terpajang anggun, di sana aku akan ...
  • GULI
    Cerpen Susanti Rahim Seperti pagi yang pertama kali hadir di jagat bumi. Ulah ledakan yang menciptakan matahari. Sejak air pertama me...

Coba Klik Gambar dibawah ini!

Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

Unknown
Lihat profil lengkapku

Copyright © Kisah yang tak Kesah | Powered by Blogger
Design by Hardeep Asrani | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Distributed By Gooyaabi Templates