Kisah yang tak Kesah

  • Home
  • Contact Person
    • Whatsapp
    • Line
    • BBM
  • Parent Category
    • Child Category 1
      • Sub Child Category 1
      • Sub Child Category 2
      • Sub Child Category 3
    • Child Category 2
    • Child Category 3
    • Child Category 4
  • Featured
  • Health
    • Childcare
    • Doctors
  • Home
  • Nona Flanel
    • Boneka Wisuda
    • Boneka Profesi
    • Bouquet Bunga
  • Nona Jewelry
    • Aneka Cincin
    • Aneka Gelang
    • Aneka Kalung
  • Tutorial
    • Flanel
    • Wire Accessories
  • Tulisan
    • Cerpen
    • Opini

Rabu, 26 November 2014

ANGKOT

 Unknown     07.55     sastra     1 comment   

Oleh Susanti Rahim

Masih jelas saat Buk Pau – guru sekolah dasar — mengatakan jika akhiran ‘ber’ itu menyatakan musim hujan, “Jadi kalian harus menyiapkan em... ber”. Begitu keterangan yang beliau berikan agar mempermudah kami menghafal nama-nama bulan. Terjadi belasan tahun yang lalu.
            Bumi masih basah, matahari belum muncul dari pertapaan ketika aku menuruni anak-anak tangga dengan langkah dipercepat.  Kuliah di jam pertama, pukul setengah delapan pagi, sungguh merupakan cobaan berat bagi sebagian dari kami. Dahulu, –katanya—  kuliah di jam pertama itu dimulai pada pukul delapan pagi. Dahulu lagi, –katanya— malah pukul sembilan. Namun karena makin lama yang masuk makin bertambah banyak, akan tetapi yang keluar sedikit, haruslah ada solusi. Dengan mempercepat jam kuliah salah satunya agar seluruh kami bisa mendapat ruang kuliah.
Jalan menuju halte dipenuhi toko-toko yang berjejer di sisi kiri dan kanan jalan. Pasarbaru, begitulah tempat ini diberi nama. Pasar yang kecil, tapi cukup untuk memenuhi kebutuhan anak kos yang hidup dekat kampus. Benar-benar kami harus berterima kasih pada mereka – penjaga kedai fotokopi, minimarket, toko kue, penjual bubur ayam, pondok bakso, juga ampera rumah makan yang memudahkan keberlangsungan hidup kami.
Pagi dengan cara kehidupan yang beragam.
            Hari menunjukkan pukul tujuh lewat sekian. Hanya kerumunan –atau bisa juga tumpukan— mahasiswa yang memenuhi  halte. Padat. Sesak. Hampir semua berdiri, menunggu kedatangan bus yang entah. inilah pemandangan tiap pagi di halte kami. Jika bus telah tiba, berebutlah kami naik. Sedikit dorong-mendorong. Tempel menempel badan. Entah apa pula modelnya kami ini. pintu bus, kedua-duanya, disesaki perempuan. Lelaki geligaman2 hati menahan.
Di seberang halte, berjejer angkot hijau mencari celah rejeki. Ianya juga yang akhirnya membantu kami disaat-saat seperti ini. Perjalanan menuju kampus memakan waktu kurang sedikit dari setengah jam dengan menggunakan bus –kami membayar ongkos dua ratus ribu tiap semesternya.
Tak jauh dari halte, ada pula pangkalan ojek. Tapi ini digunakan jika memang kauharus berada di kampus sebelum sepuluh menit dari sekarang. Contohnya jika kautelat bangun—atau  memang sulit bangun — dan yang masuk kelas hari itu dosen “pembunuh”, kaubisa menggunakan jasa yang terakhir. Tarifnya enam ribu.
            Seperti pagiku hari ini. Aku memilih menggunakan jasa yang ke dua. Seharga uang bergambar Antasari dan waktu tempuh maksimal lima belas menit. Aku mempercepat langkah. Tak ada klakson-klakson angkot yang menambah hiruk pikuk jika pagi.  Mungkin mereka – para sopir — mengerti bahwa pagi, rejeki datang sangat cepat. Seiyanya, itu membikin telinga sedikit lega juga, bukan. Memenuhi penumpang hanya dibutuhkan waktu beberapa menit saja di jam padat seperti sekarang.
            Angkot sudah melaju kencang ketika sedikit lagi aku hampir sampai. Angkot kosong lain menggantikan angkot yang baru saja pergi. Mau tak mau sepertinya aku harus menjadi penumpang pertama yang menunggu sebelas kawan lain. Tiga belas dengan kawan yang di samping sopir. Biasanya diisi oleh lelaki. Sedikit wanita yang mau. Barangkali takut dilecehkan. Begitulah ketidaksaling percayaan terjadi tiap pagi. Jika ada yang menanya kenapa – pada wanita yang takut duduk di samping  sopir —, bisa disangsikan bahwa mereka tahu tentang alasannya. Sebagian dari kami tidak tahu kenapa, dan tidak tahu jawaban apa, tapi kami melakukannya – menolak untuk duduk di samping sopir angkot.
Aku merundukkan badan, menaiki angkot  mencari tempat yang nyaman; bangku enam tepat di depan pintu masuk. Ternyata bagi sebagian dari kami, termasuk aku menetapkan bahwa ada sekat-sekat kenyamanan duduk pada bangku angkot.
            Kukeluarkan gawai3 dan mulai mengotak-atiknya agar tak menunggu terlalu bosan.
            Satu persatu kawan mulai masuk. Satu, dua,...,sepuluh. Wanita semua yang mengisi. Semua merapat ke daerah dekat dari pintu. Semua ingin sekali duduk dekat pintu. Jangan heran. Dan jangan pula berburuk sangka. Pagi terlalu khidmat untuk dirusak dengan hal demikian.
Tinggal satu bangku tersisa. Letaknya paling ujung sudut angkot ‘bangku enam’. Posisi keramat! Penumpang terakhir harus masuk terbungkuk-bungkuk melewati jalur sempit yang berisi tungkai-tungkai kaki. Jika ada sepatu yang tertindih oleh sepatu yang sedang lewat, bunyi daceh4 kerap muncul. Maka harus hati-hati.
Posisi keramat pada akhirnya diisi oleh dua tipe. Yang pertama, kawan kami yang baik hati dan tulus ikhlas; kedua, kawan kami yang tergesa karena harus sampai di kelas tepat waktu.
            Ada juga kawan kami yang tahan santing. Jika mencigap5 pintu angkot, kemudian mendapati tempat duduk yang kosong  itu adalah posisi keramat, maka ia tetap berdiri saja di depan pintu sambil sedikit pandang-memandang ke arah kenek, lalu mencelingak-celinguk ke dalam, berharap si uda kenek menyuruh kami yang berada di dalam untuk bergeser. Tapi jika tak ada yang mau bergeser, maka kawan kami itu pun melenggang ke angkot lain. Maafkan kami, kawan. Ekor kami terlalu berat untuk berpindah posisi.
Angkot melaju. Menggiling aspal yang basah. Bias sinar matahari mengenai air yang tertonggok pada dahan. Seiring dengan tundukan kami yang menatap gawai penuh khidmat. Kami menamai diri kami mahasiswa, dan dengan sikap seperti ini kami pongah menganggap diri kami orang yang berpendidikan. 

***


1Angkot, Angkutan Kota: sebuah moda transportasi perkotaan yang merujuk kepada kendaraan umum dengan rute yang sudah ditentukan.
2Galigaman, geram; kesal dan jengkel,
3Gawai: Gadget
4Dacehaan: mengeluarkan suara cis untuk mengungkapkan kekesalan. Dalam budaya minang, hal ini dianggap kurang sopan.
5mencigap: menengok


  • Share This:  
  •  Facebook
  •  Twitter
  •  Google+
  •  Stumble
  •  Digg
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke Facebook
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

1 komentar:

  1. Unknown26 November 2014 pukul 16.51

    Ditunggu kelanjutannya dek :*

    BalasHapus
    Balasan
      Balas
Tambahkan komentar
Muat yang lain...

Popular Posts

  • Awkarin, Remaja yang Dahulu Katanya Berhijab, Sebenarnya...
    Belakangan nama Karin Novilda atau lebih dikenal dengan nama Awkarin ramai diperbincangkan oleh pengguna internet. Awkarin memulai keten...
  • Resensi Labirin Sang Penyihir
    Judul: Labirin Sang Penyihir Pengarang: Maya Lestari Gf Penerbit: Kakilangit Kencana Sampul: Doff Cover (Soft Cover yang di...
  • Sebenarnya 'Raja' dan 'Kaisar' itu sama atau beda, ya?
    Saya tidak sengaja menyukai  ceritanya.  Ini bermula ketika saya menjadi salah satu peserta pelatihan esai tingkat remaja yang diadakan ...
  • Ustaz: Dahulu dan Kini
    Ustaz: Dahulu dan kini Esai Susanti Rahim Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), uztaz berarti guru agama atau guru besar (laki-l...
  • Perkenalan
    PERKENALAN -“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah”- P...
  • ANGKOT
    Oleh Susanti Rahim Masih jelas saat Buk Pau – guru sekolah dasar — mengatakan jika akhiran ‘ber’ itu menyatakan musim hujan, “ Jadi kali...
  • sekerat malam
    SEKERAT MALAM Oleh Susanti Rahim Malam. Mobil melaju dengan kecepatan sedang bersama puluhan pasang sorot lampu yang sejalan...
  • Lorong
    lorong kemanusiaan kian membeku. joget manusia semakin memburu. lagu-lagu makin memburu nafsu. biaya ilmu kian tinggi. yang kaya makin ka...
  • INAI DI JARI IBU
    Oleh: Susanti Rahim Esok adalah helat pernikahan yang akan aku jalani. Pelaminan merah telah terpajang anggun, di sana aku akan ...
  • GULI
    Cerpen Susanti Rahim Seperti pagi yang pertama kali hadir di jagat bumi. Ulah ledakan yang menciptakan matahari. Sejak air pertama me...

Coba Klik Gambar dibawah ini!

Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

Unknown
Lihat profil lengkapku

Copyright © Kisah yang tak Kesah | Powered by Blogger
Design by Hardeep Asrani | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Distributed By Gooyaabi Templates