Cerpen Susanti Rahim
Seperti pagi yang
pertama kali hadir di jagat bumi. Ulah ledakan yang menciptakan matahari. Sejak
air pertama menjatuhi bumi. Sejak hitam pertama kali diucap hitam. Sejak sajak
menjelma jejak. Sejak itu pula tiap hal menarik untuk dilirik, ditatap, ditegur,
apalagi dicatat.
Saat sebuah akhir
mampu diubah, nak ke mana sesal kan berpulang.
Bak hari
kebanyakan, saat orang tua keluar mencari makan ke tempat peraduan, budak-budak
tak bersekolah bermain berkeliaran. Anak jantan mainnya jauh-jauh dari rumah.
Mendapat teman di tempat lain. Bermain layang-layang, suruk-benteng1, kejar-lenget2, juga guli dengan berbagai cara
permainan. Main tikam, china buta, lubang babi, lubang tiga, lubang enam, dan
lubang-lubang lainnya. Sang perempuan calon ibu bermain pondok-pondokan. Meski tak jarang juga calon ibu-ibu itu ikut
bermain layang, guli, atau apa pun yang menjadi permainan budak laki-laki. Anak-anak
perempuan merasa diri mereka hebat saat mereka memainkan apa yang dimainkan
oleh anak laki-laki, tetapi dianggap wadam jika lelaki memainkan permainan perempuan.
Entah bermula dari kapan, barangkali kala Kartini, oh bukan, maaf, Cut Nyak
Dien. Barangkali Cut Nyak Dien, oh maaf lagi, bukan, bukan Cut Nyak Dien, entahlah,
entah perempuan yang mana.
Di
atas rumput sebuah tanah luas terenyak tiga pantat anak-anak gadis kecil yang
sedang bermain pondok-pondokan. Menimang-nimang,
memasak-masak, berjual-jualan kemudian membeli dengan uang dari daunan. Tak
jauh dari sana, empat pasang kaki berpijak pada rumput-rumput pendek yang masih
menyimpan embun malam tadi. Kaki tanpa alas kaki. Kuku hitam banyak tahi.
“Berapa
banyak guli yang kaubawa?”
“Aku
segini.”
“Aku
satu kaleng.”
“Aku
tak punya.”
“Hah? Ke mana
semua guli yang kemarin kaumenangkan?” Arip terheran.
“Aku jual biar
dapat uang.”
“Kaujual?! Dapat uang?!” ternganga Eman
dibuatnya. “Bisa dapat uang dari guli?”
“Iya. Beri aku
modal. Saat menang nanti, kita kongsi, kita jual dan uangnya bisa kita bagi
dua.” Dengan nada bangga Iday melontarkan kata-katanya. Ipad tertarik,
geraknya terbaca oleh Arip.
“Tidak mau. Kalau
Ipad dan Iday berkongsi, aku tidak ikut main.” Arip mengelak.
“Eh, tak apa. Aku
kongsi dengan dia, kaukongsi dengan Eman. ”
“Tidak. Tetap aku
tak hendak. Enak saja kausandingkan aku dengan dia. Tak sudi.” Ipad memberang.
Tapi sebenarnya ia takut kalah. Eman tak terlalu mahir bermain. Tidak ada orang
yang ingin kalah. “Kau saja dengan Eman. Aku dengan Iday,” Ipad membalikkan
pernyataan.
Arip kuncun3. Jelas Arip juga
tak ingin menyandang selempang kekalahan.
Permainan guli
dimulai tanpa keturutsertaan Iday. Arip, Eman, dan Ipad mulai memainkan semua
permainan guli yang mereka ketahui. Silih berganti. Menang, kalah, menang,
kalah, menang, kalah, kalah. Eman kalah telak. Guli yang tadinya satu kaleng, kini tinggal tak beberapa
butir di tangan. Eman kesal. Ia merasa diperolok. Tapi tak menyerah. Mencari
akal supaya menang. Ingin bermain curang, tapi bagaimana mungkin. Kecurangan
tak bisa dibuat dalam permainan ini. Ingin mengajak Iday yang sedari tadi hanya
menyaksikan permainan dengan berubah-ubah posisi—dari jongkok, berdiri,
menungging seperti orang rukuk, kemudian berdiri lagi—tapi diurungkan. Namun
ketika melihat guli yang hanya tinggal beberapa butir di tangan, hasrat Eman
mengajak Iday kembali membuncah. Eman mencari-cari
akal.
“Iday. Kau
gantikan aku bermain sebentar. Aku sesak berak4.”
Eman bersorak, dan tanpa ba bi bu meninggalkan guli di tanah, langsung
berhambur pergi. Eman berharap besar Iday menang, dan hasil dari uang penjualan
guli bisa dibagi dua.
Arip dan Ipad tak mampu
menyanggah lagi. Awalnya takut kalah, tapi mengingat guli yang hanya tinggal
sedikit, padamlah ketakutan mereka. Kecil kemungkinan Iday akan menang dengan
guli yang hanya tinggal beberapa butir.
Pertarungan berlanjut
tanpa Eman. Permainan guli pertama, Iday kalah. Permainan kedua menang.
Permainan ketiga menang lagi. Permainan selanjutnya bertubi-tubi ia menang. Kini
guli yang hanya beberapa butir sudah memenuhi setengah kaleng. Iday makin yakin
dengan kemahirannya dan ingin mempercepat usainya permainan itu. Iday bertaruh
dengan seluruh guli yang dimenangkan tadi, membuat Arip dan Ipad awalnya menjadi
takut, tetapi mereka juga panas dan tak mau dianggap penakut. Tantangan Iday
diterima. Malang tak mampu dielak, Iday kalah, tak sebutir guli pun kini di tangan.
Nyawa Arip dan Ipad yang tadi sudah setengah hilang, kini terkumpul kembali.
Eman kembali, arkian mendapati tak ada guli di
kalengnya ataupun di tangan Iday. Pupus harapan Eman tentang kemenangan,
tentang uang. Eman merogoh kocek, mengeluarkan uang seribu untuk membeli guli.
Kini Eman bermain hati-hati. Sedikit kegegabahan ia tak bermodal lagi. Di
kepalanya hanya ada keinginan untuk memenangkan permainan, agar mendapatkan
uang. Eman mulai tagan sedikit-sedikit.
Semua telah usai.
Tuhan memberkati keinginan budak jantan itu. Eman menang. Guli hasil kemenangan
itu ia tampungkan ke dalam bagian bawah baju yang ia lipatkan ke atas. Sorak
raya kemenangan.
“Mau
kau apakan guli itu, Man?”
“Kujual
biar dapat uang.”
“Lalu?”
“Aku mau beli sesuatu
untuk bapakku.”
“Kau
mau belikan apa? Rumah?! Ha ha ha.” Arip, Ipad, dan
Iday tertawa.
“Bukan!”
“Lantas?”
“Bunga.”
Tetiba semua
bungkam. Saling pandang, dan tertawa terpingkal-tingkal. Lama.
“Banci Bapak kau,
Man? Ha ha ha.” Semakin menjadi-jadi mereka tertawa. Eman tak memedulikan.
Dalam benaknya kini uang, uang, uang, uang, uang. Ia buru-buru lari, bukan disebabkan oleh cemeeh yang mengatakan bapaknya banci.
Uang uang uang
uang uang. Komat-kamit dalam kepala
Eman hingga sampai ia di sumur rumah. Semua guli itu ia masukkan ke dalam sebuah
ember. Sampai usai menimba air pun, yang ada di kepalanya adalah uang uang uang uang uang.
Baju Eman sedikit
basah. Diambilnya kain lap lantai. Dikirap, arkian dikembangkan di lantai. Guli
dalam ember dikeluarkan.
Diletakkan di atas kain. Dilapnya, kering-kering angin. Dibungkusnya
lagi dengan baju miliknya.
Tak lupa ditinggalkannya sedikit untuk modal
bermain nanti.
Uang uang uang
uang uang. Sampailah ia ke tempat kedai yang menjual guli. Dari guli ukuran
sekecil telur cicak hingga sebesar bola pimpong.
Kini di tangan Eman sudah ada bunga. Dipercepatnya langkah kaki
menuju sebuah kompleks. Ia sudah hapal sekali letak tempat yang sedang ia
kunjungi itu. Kemudian ia berhenti
dengan langkah pasti. Hampir tak pernah ia membawa rangkaian bunga besar
sebesar itu–hingga menutupi seluruh muka dan dadanya—bunga warna-warni. Eman
berdecak bangga. Dalam kebanggaan dan kebahagiaan Eman duduk mencangkung. Dicabutinya
beberapa rumput liar yang mengitari
gundukan tanah itu, sembari meletakkan bunga dekat papan yang terpancang di
salah satu ujung gundukan. Eman bangga. Memberi bunga pada bapak!
1Petak Umpet
2permainan
kejar-kejaran.
3merasa bersalah atau kalah seperti bunga yang
kuncup
4Buang air besar
0 komentar:
Posting Komentar