Ustaz: Dahulu
dan kini
Esai Susanti
Rahim
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), uztaz berarti guru agama atau guru besar
(laki-laki); juga digunakan sebagai kata sebutan atau sapaan Tuan. Namun secara
harfiah, yang dikatakan ustaz sebenarnya yaitu seorang profesor. Seorang
profesor yang dimaksud dalam hal ini merupakan seseorang yang mendidik,
mengajarkan, berkahlak, alim ulama, memimpin, serta bijak. Dewasa ini, makna ustaz
berbeda dari arti harfiahnya. Bisa dikatakan telah terjadi pergeseran makna. Di
Indonesia, gelar ustaz yang diberikan terkesan asal comot. Padahal di Negeri
Arab, apabila seseorang dipanggil ustaz maka ia akan merasa tersinggung karena
tidak sembarangan orang bisa dipanggil dengan sebutan ustaz.
Salah
satu faktor terjadinya pergeseran makna tersebut ialah kesenjangan ansumsi
mengenai “ustaz” yang diterima oleh masyarakat Indonesia belakangan ini. ustaz
kini bukan menjadi sesuatu yang sakral lagi. Tidak perlu pandai berbahasa Arab,
dengan syarat bisa berbicara sedikit tentang agama dan juga bisa
menyampaikannya dengan cara menghibur sudah bisa mendapat gelar seorang “ustaz”.
Jika
ditinjau balik ke belakang, dahulu, untuk mendapatkan gelar seorang ustaz itu
cukup sulit. Seseorang harus terlebih dahulu bersekolah dan berguru dengan
seorang kiai. Hal tersebut membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Pada masa
sekarang, Sekolah agama seolah-olah menjadi sebuah tempat “bengkel akhlak”.
Orang tua memasukkan anak-anak mereka yang dianggap nakal ke sekolah-sekolah
agama. Alih-alih pulang dari sekolah agama, bukan menjadi orang yang diinginkan
oleh orang tua, tetapi malah seperti dalam istilah “tabaliak kaji”. Sejatinya, dahulu, adalah sebuah keinginan dalam
diri sendiri seorang anak jika ingin masuk ke sebuah sekolah agama dan
mempelajarinya tanpa paksaan dari siapapun.
Saat
sekarang ini, stasiun televisi tak ubahnya seperti sebuah persaingan. Mereka
berlomba-lomba untuk membuat acara dengan rating
tertinggi. Para pengelola lebih memilih menjadi followers untuk mendapatkan rating
tertinggi ketimbang mencoba membuat program yang berkualitas tinggi. Mekanisme
pasar serta selera pasar membuat stasiun televisi berbondong-bondong membuat
acara yang diisi oleh sosok-sosok yang bergelar ustaz. Kemudian ustaz pun
menjadi sebuah produk komersial. Terlebih ketika tiba Bulan Ramadhan. Supply ustaz yang kurang serta demand yang banyak mengakibatkan
“produksi” ustaz akan menjadi melimpah ruah. Bak jamur di musim penghujan,
tiba-tiba hadir ustaz-ustaz baru yang gagah-gagah. yang penting asal cuap-cuap
soal agama dan bisa menghibur hati masyarakat maka jadilah ia seorang ustaz.
Rata-rata
pada zaman sekarang jadilah mereka ustaz-ustaz komersil mereka menjual tampang
dan kehidupan demi uang. Sedangkan dahulu, ustaz tidak memungut biaya jika
berdakwah. Beliau menjalankan profesinya sebagai seorang ustaz bukan untuk
mencari makan, tetapi benar-benar untuk sebuah pengabdian.
Dunia
keartisan yang gelap membuat setiap artis harus memiliki seorang dokter penesehat
spiritual. Dokter penasehat spiritual ini rata-rata merupakan seorang ustaz.
Jadilah kehidupan artis mirip seperti seorang ustaz. ustaz dengan gaya artis,
dan Artis dengan gaya ustaz. Sudah bukan menjadi hal yang tabu lagi jika ada
seorang ustaz yang hidupnya glamor. Memiliki barang-barang mewah, mobil-mobil
mewah motor gede menghiasi rumah
para-para Ustaz. Rumah mereka lebih mirip singgahsana raja dibandingkan rumah
seorang ulama.
Mari
kita tinjau kehidupan ustaz pada zaman dahulu. Kehigupan ustaz amatlah
sederhana. Tercermin kesederhanaan mereka dari pakaian yang dikenakan serta
rumah yang mereka tempati. Tidak ada barang-barang mewah, yang ada hanya
kitab-kitab kuning berjajar rapi menghiasi rak-rak buku di dalam rumahnya.
Beliau berbaur bersama masyarakat. Ustaz menjadi tempat berkeluh kesah bagi
jamaah. Pikiran-pikirannya diminta untuk mengambil kata sepakat. Aura ilmuan
dan wibawanya terpancar dari caranya bertutur kata dan berprilaku. Jika beliau
memiliki uang, beliau mensyukurinya dengan mendirikan sekolah-sekolah agama dan
masjid-masjid.
Hal
ini merupakan sebuah karya dari budaya pop yang menyulap seseorang untuk
menjadi sebuah karakter yang dibutuhkan oleh penikmat budaya pop. Hanya pada
era pop lah kita bertemu dengan seorang ustaz yang menikah menggunakan mas
kawin dengan hitungan tanggal-bulan-tahun sama dengan sejumlah uang. mereka
bukanlah artis yang sedang membitangi sebuah drama. Ustaz adalah orang yang
dibekali dengan ilmu agama. Namun memandang gaya hidup mereka, kita semua pasti
bingung akan memasukkan mereka kedalam kategori ustaz ataukah seorang artis!(*)
0 komentar:
Posting Komentar