Oleh:
Susanti Rahim
Esok
adalah helat pernikahan yang akan aku jalani. Pelaminan merah telah terpajang
anggun, di sana aku akan duduk
bersama calon suamiku setelah akad nikah esok pagi. Kami akan
mengikat janji sehidup semati. Tinggal inaiku saja yang belum terpasang di
kuku. Sudah menjadi tradisi di kampung ini akan malam bainai. Pengantin wanita
atau yang disebut anak daro dilekatkan inai pada tiap ujung jari, begitu pula dengan marapulai atau
pengantin laki-laki.
Ibu menatapku lekat. Ada haru, cemas, dan juga bahagia serta semeraut rasa yang entah apa pada tatapan itu. Barangkali ibu khawatir, atau barangkali
ibu malah takut. Tentang pernikahan, bukan hal main-main meski di dalamnya
terkadang ada permainan.
Pengalaman
Ibu yang
gagal, sebab suaminya menikah lagi menjadikan Ibu ikut andil dalam
pemilihan bakal calon suamiku. Sejak mulai SMA, Ibu mewanti-wanti tiap laki-laki yang bertamu ke rumah. Pernah sekali, Aku ketahuan menjalin
kedekatan dengan kakak
kelas dan itu menyebabkan Ibu marah besar.
‘Tidak
ada gunanya berpacaran dengan anak SMA yang masih ingusan.
Tak ada guna. Perbedaan umur
yang hanya satu tahun menyebabkan ego kalian masih tinggi satu sama lain. tak ada yang
mau mengalah jika suatu saat terjadi pertengkaran. Aku
bukan melarang kau berhubungan, tapi harus dengan orang yang jauh lebih tua denganmu dan sudah
memiliki kedudukan tetap, yang bisa menjamin masa depanmu. Aku tak akan melarang.
Jangan jadi seperti aku. Dulu karena cintaku pada ayahmu, bahkan aku rela menolak lamaran pekerjaan sebagai pegawai bank di Jakarta kemudian menikah dengan ayahmu. Rayuan busuknya
menghanyutkanku. Aku tak mau jika hal itu terjadi juga padamu. Hanya itu.”
Ibu
menggeturu berjam-jam. Kemudian dilain hari saat aku melakukan kesalahan seperti memecahkan gelas, atau
terlambat mengerjakan pekerjaan rumah, ibu kembali mengomeliku dan menyisipi omelan
yang sama dengan kemarin. Tak pernah berkesudahan. Sampai bosanku terbit akibat
mendengar celoteh ibu yang tiap hari itu ke itu saja.
“Kau memang tak pernah mendengar. Kau harus menikah
dengan seorang pegawai.” ibu selalu menekankan suamiku harus seorang pegawai. Kelak akhirnya aku mengerti semua maksud ketakutan Ibu. Yang
ia lakukan semata karena ia sayang. Ia tak ingin aku menanggung rasa sakit yang pernah
dirasakannya. Aku ingat, setelah
bepisah dengan ayah, tiap pagi mata ibu sembab, bengkak, hingga biji matanya hampir tak
terlihat. Entah beban mental seperti apa yang dialaminya dulu. Tak mau ia
bercerita dengan kami.
Ayah
dinikahkan lagi oleh ibunya. Pulang ke bako. Istilah yang tak pernah aku mengerti
sebelumnya. Tanpa sepengetahuan ibu, pernikahan siri itu dilangsungkan. Wanita itu
membayar lima juta untuk uang jemputan
kepada andung sebagai tanda bahwa pria telah dibeli oleh
wanita, dan pihak keluarga pria tidak bisa lagi mengganggu gugat karena si pria
sudah hak penuh milik si wanita. Begitulah cara kerja
adatnya. Seperti hak
kepemilikan barang. Jika kau sudah membeli sesuatu, barang itu milikmu
sepenuhnya, dan terserah mau diapakan. Apabila memang dianggap
itu barang, tentu jika barang
itu baru, maka akan kau asuh. Namun lama kesudahan, jika sudah mulai bosan, tak
mengurus yang melekat di badan.
Sebagai orang yang berbeda adat dan budaya dengan Ayah,
ibu tidak pernah mengetahui peraturan-peraturan semacam itu. Ayah
harus dibeli dengan uang. Ayah sebagai seorang mamak, harus mengemasi dan bertanggung jawab tak hanya pada anak
kandungnya, tapi juga bertanggung jawab atas anak-anak yang lahir dari saudara
perempuannya. Dulu ketika kami pulang ke kampung ayah, pakaian yang sedang dikenakan oleh ibu
atau ayah, bisa diminta oleh saudara-saudara ayah.
“Tinggalkan saja baju ini disini.”
Tinggalkan ini, tinggalkan itu.
minta dibelikan ini, minta dibelikan itu. Tak boleh kalah dengan ibu. Emas yang
dikenakan ibu, mereka harus punya pula, tanpa tahu bahwa emas yang dikenakan
itu berasal dari jerih payah ibu. Pokoknya apa yang ibu miliki, mereka ingin
pula. Anak dipangku kemenakan dibimbing. Kata mereka seperti itu. Mana mengerti
ibu.
Saat
menikah dengan ayah, ibu tak pernah membeli ayah, tidak pernah memberikan uang pada andung sebagai
tanda kepemilikan ayah. Ayah juga tidak mempermasalahkan akan hal
beli-membeli itu. Ayah begitu mencintai ibu. Dulu.
Setelah
bercerai, menjadi seorang janda, ibu selalu diolok-olok para tetangga.
“Kau tak pernah membeli suamimu, tentu saja mertuamu
menjualnya keperempuan lain.”
“Kau saja yang tak pernah tahu. Dalam adat mereka,
laki-laki barulah dikatakan laki-laki jantan jika menikah lebih dari sekali.”
“Jika kau mampu menikah lagi dengan lelaki yang lebih
dari suamimu dulu, kau baru bisa dikatakan laku. Itu martabatmu sebagai janda
saat ini.”
Memang
dari awal, pernikahan mereka tak pernah
direstui oleh andung. Konon saat pernikahan itu berlangsung, andung telah
berjanji, jika memang ia tak bisa memisahkan mereka sekarang, ia akan
memisahkan mereka nanti.
Malam ini, begitu manis nasehat ibu
yang sampai ke telingaku.
“Nak, jika kelak kau bertengkar dengan suamimu, jangan
pernah membuang pakaiannya keluar rumah. Itu sama saja dengan mengusir suamimu.
Jika itu terjadi kau harus menjemputnya kembali dari rumah orang tua. Dulu ibu
tak mengetahui apa-apa tentang hal itu. Yang namanya rumah tangga, pasti ada
pasan surut. Dulu Salah seorang teman ibu menyarankan untuk membuang pakaiaan ayahmu jika suatu saat kami bertengkar lagi.
Dan ibu melakukannya.” Ibu
mengenang disela merekatkan inai di ujung jariku. “Mungkin kau juga belum mengerti, tapi ibu yakin kau akan tau sendiri saat aku telah berteman dengan budaya mereka. Budaya mereka
rumit. Tapi ibu juga percaya
padamu.”
Ibu
menghela nafas. Cerita ini masih berlanjut. “kau tau, kemenakan ayahmu sampai
sekarang belum beristri. Padahal ia seorang lelaki terdidik, sudah memiliki
semua hal yang dibutuhkan untuk berumah tangga. Tapi, ibunya mematok harga yang
tinggi bagi wanita yang ingin meminang
anaknya.”
Jam menuju pernikahanku kian dekat. Kebahagiaankah yang
aku dapatkan hingga kematian, atau malah perceraian. Kepastianku yang selama
ini menjadi keragu-raguan ketika mendengar tiap kata demi kata yang terlontar
dari mulut rewel ibu. Ada perih yang tergambar pada tiap cerita yang disampaikannya,
seolah ia kembali lagi pada masa menggetirkan itu. Meski Ibu sudah bersuami lagi, namun kegetiran ketika
mengingat masa lalu masih tertera.
“Nak, mungkin ini juga tak sepenuhnya salah ayahmu.
Dulu, ketika ayahmu mengajak pindah ke tempatnya bekerja, ibu menggelengkannya. Sebab Banyak yang ibu
fikirkan. Kamu dan kakakmu sekolah, ibu harus mengurus surat pindah. Jujur ibu
takut berhadapan dengan guru apalagi kepala sekolah kalian. Ibu merasa rendah
diri. Belum lagi harus mengangkat barang-barang, menyewa kedai untuk tempat ibu
berjualan. Sungguh merepotkan dalam otakku.”
Ibu
membawa ingatanku dimasa sekolah. Memang tak pernah sekalipun raporku
diambilkan oleh ibu. Disaat orang tua teman sekelas berkumpul di ruang kelas,
aku menunggu di samping jendela. Mengintip yang terjadi di dalam. Kemudian,
setelah semua orang tua murid pulang, baru aku di perbolehkan mengambil
bagianku. Guru-guru sudah tau akan hal ini, sebab tak sekali, dua, kejadian
yang sama terjadi. Saat aku bertanya pada ibu, Ia memberi berbagai macam alasan
untuk menjawab, kedainya tidak bisa ditinggalkan, tak ada yang bisa menjaga,
nanti barangnya di curi orang, dan lainnya.
“Sudah selesai.” Sungging tersimpul
indah pada wajah ibu sembari
mengeratkan ikatan plastik terakhir membungkus inai agar
tak cemot jika aku tidur nanti. ibu telah tuntas melekatkan seluruh inai dijari
tanganku. Aku melihat semua jari-jariku. Rapi, meski agak terasa sedikit panas.
Hidungku
terasa gatal, aku mencoba menggaruknya dengan punggung tangan, namun agak
susah. Tiba saja jari ibu mendarat di hidungku. Ia mengantikan aku
menggaruk-garukkan di tempat hidung yang terasa gatal. Terharu, sedih, ingin
menangis. Aku melulur air mata. Mungkin aku sedang terbawa suasana.
“esok,
saat kau telah menjadi istri orang, jangan pernah kau biarkan suamimu tidak
bermalam denganmu. Wanita itu memang sifatnya seorang perayu, jadi kau harus
menjadi orang terpintar dalam merayu priamu. Kau harus menjinakkannya dengan
kelembutanmu. Manjakan lidahnya dengan masakanmu, rawat dia, perhatikan
kebutuhannya. ingat, kebahagiaan rumah tangga itu berawal dari dapur, kemudian
baru kasur.” kami berpindah ke kamar.
Makin
dekat saja hari menjelang esok. Inaiku sudah terpasang semua,
dibiarkan satu malam melekat
pada jari. Ibu mengemasi tempat tidur yang berserakan parsel-parsel di atasnya.
Malam ini kami tidur berdua.
*
0 komentar:
Posting Komentar