SEKERAT MALAM
Oleh
Susanti Rahim
Malam. Mobil
melaju dengan kecepatan sedang bersama puluhan pasang sorot lampu yang sejalan .
Di dalam, kami saling bercerita tentang kegiatan yang ia lakukan tadi. gelak
tawa mengisi renyah dalam kereta. Suamiku bisa dibilang masih baru bergelut
dalam dunia enterpreneur, disela kerja kantoran yang katanya
membosankan. Dunia enterpreneur lebih
kebentuk usaha moderen kalau menurutku. Menggunakan kekuatan branding,
dan dunia maya sebagai pasar utama. Ia baru saja pulang dari sebuah workshop
kewirausahaan dengan harga setengah juta di sebuah universitas di kota kami.
Tapi itu belum seberapa baginya, sebab ia juga pernah mengikuti enterpreneur camp di Surabaya, dengan dana
sekitar lima juta. Dan sebelum itu ia juga ikut workshop kartu kredit. Tak
mengapa, katanya. Ilmu itu harus di jemput.
Namun, bagiku bergelut di dunia usaha bukan hal baru.
Semenjak kecil, aku telah mewarisi darah wirausaha kedua orang tua. memang hanya
berdagang kecil-kecilan, meski dengan cara tradisional. Tapi cukup untuk
membeli vespa, ansuran rumah, dan tabungan berupa perhiasan yang berhasil
dikumpulkan ibu. Sedang aku, ketika duduk di bangku pertama sekolah dasar telah
memutar otak dengan menjual jambu yang tumbuh di halaman belakang rumah tante
untuk kujual ketetangga dengan harga seratus rupiah perbuahnya. Jika Mail adalah tokoh laki-laki dalam cerita
Upin Ipin, maka aku adalah versi perempuannya.
Kereta
berhenti saat bertemu dengan lampu merah –atau lampu lalu lintas lebih tepatnya.
Bukan pemandangan yang aneh lagi jika kau menemukan orang-orang berserak di
pinggir jalan. Jika ia lelaki remaja, akan ada sebuah gitar di tangannya. Kalau
ia anak-anak — baik laki-laki maupun perempuan, ember kecil dan tangan
merupakan satu kesatuan. Ada pula yang memegang kemoceng lusuh. Mengelap-ngelap
mobil yang berhenti. Semua ada. Mulai dari yang sehat, sampai yang buta,
pincang, hingga tak mampu berjalan.
Seorang
anak perempuan kecil berumur sekitar dua tahun merenggut perhatianku. Dengan
jilbab mungil yang ia kenakan, celana jeans seperdelapan dan baju merah lengan
pendek. Ia membawa ember kecil di tangan kanan. Menengadah ke atas sambil
berjalan dan menggoyang-goyangkan ember yang dipegang. Langkah-langkah mungil
ia ciptakan tanpa mengenakan alas kaki. Hatiku bak dipiuh. Tak jauh dari gadis
mungil itu aku melihat seorang wanita separuh baya tengah duduk teronggok di
trotoar jalan. Celana sengan lutut, baju sengan siku dan songkok sengan dada.
Celingak-celinguk memandang entah. timbul rasa jijik yang tak terperi.
“Ya Tuhan.” Tak tahan aku untuk
bergumam, lirih.
“Meski
Raja berganti, yang dayang tetap jua jadi tukang kipas, Dik.” Suamiku mengusap
kepalaku. Merebahkannya ke bahu. Ia memang sering bisa menangkap isi kepalaku.
“Yang duduk itu, entah ibunya entah bukan. Aku juga selalu memperhatikan,
ketika pergi dan pulang dari kantor. Yang buta itu, kau lihat? Pendampingnya
sering bertukar ganti. Bahkan kabarnya mereka ini juga ada Asosiasi persatuan
pengemis sekota Padang. Sekre mereka di belakang kantor pos. Fungsinya pemerataan
tugas untuk mengemis. Di tiap simpang, ditiap tempat makan mereka akan ada.
Sekarang, mengemis dan memalak sudah silit dibedakan, Dik.”
Lampu
telah hijau, mobil kembali melaju dengan kawanan lain. Tempat yang dituju
hampir dekat. Tapi sayang, ternyata Warung Pecel Ayam langganan kami sedang tutup.
Kemudian kami diskusi lagi tentang perkara “Makan apa?”. Sungguh betapa
bersyukur karena kami masih mampu menyerukan “Makan apa?”, sedang di tempat
yang entah, ada mereka yang ditarak petanyaan, “Apa makan?”
Awalnya
terlintas di benakku untuk makan mie goreng di Simpang Kinol, tapi urung.
Suamiku teringin Pecel Ayam. Sepakat, pecel ayam pinggir jalan di Jati. Kereta
melaju membelah jalanan.
Setibanya
di tempat, Kami masih melanjutkan percakapan workshop suamiku yang tadi. Workshop
kali ini terlalu banyak orang, katanya. Masa pesertanya saja seratus? Itu lebih
mirip seminar ketimbang workshop. Saat yang satu sedang presentasi di depan,
yang lain asik ribut di belakang. Workshop itu membuatnya mengantuk. Apa karena
agak murah makanya banyak yang ikut, aku jua tak paham.
Obrolan makin
menarik. Namun satu pemandangan lebih menarik perhatian kami. Dua orang bocah
laki-laki yang mulanya kupikir ingin ikut
memesan, tapi malah mencari-cari posisi. Bisa kuperkirakan umurnya
sekitar sembilan dan tujuh tahun
“permisi
bapak , ibuk, uni, uda, kami ingin ngamen.” Bocah yang lebih kecil bersuara.
Mereka hanya membawa badan. Kemudian mulai menepuk-nepuk tangan. Berdendang.
Lagu pop dari sebuah grup band. Aku kehilangan nafsu makan. Nasi yang masih
tersisa setengah, tak sanggup aku lanjutkan. Setelah nyanyian selesai, kukira
mereka akan berhenti dan mengunjungi meja-meja lalu pergi. Namun aku salah. Ada
desis bisikan sekilas antara mereka berdua. Kemudian menyanyikan lagu kedua.
“Bak kato balam padi rabah, salamo kami ayah
tinggakan, iduik kami batambah susah, dunsanak lai balanteh angan. Manangih
denai dalam rasian, mangana untuang nasib nanko, harato bando mandeh ndak punyo....”
Mendengar
lagu itu lantas saja membuatku langsung membasuh tangan. Enggan melanjutkan
makan. Aku melihat sekitar. Pelanggan lain tersenyum-senyum mendengar dendang
yang mereka bawakan. Senyum yang entah. Dan aku mengutuk dalam hati. Tahu benar
mereka cara mengambil simpati. Dendangan tentang anak yang di tinggalkan oleh
seorang Ayah, lantas saudara yang tak mempedulikan, dan ibu yang tak lagi memiliki harta benda. Kenapa
mereka tak terfikir untuk menjual jambu seperti yang dulu pernah aku lakukan. Aku
bukan menjadi simpati, malah jadi benci. Yang pasti bukan dengan mereka. Barangkali
caranya. Aku tak habis pikir. Dunia apa yang sedang aku huni. Apa ini sudah
terjadi semenjak dahulu, atau hanya aku yang baru tahu. Kata “mengapa” bertubi
menggelinjang di kepala dan batinku. Siapa dalang dari semua ini. Dan mereka
masih melanjutkan dengan lagu ketiga. Masih menepuk-nepuk tangan, menciptakan
bunyi.
Yang paling
besar menghampiri pelanggan satu persatu. Meminta uang. Hingga ia sampai ke
meja kami. Suamiku merogoh saku. Sontak kuucap “Jangan!” sambil melayangkan pandang
membelakangi bocah itu. Aku tak tahu
ekspresi apa yang ia tinggalkan di meja kami.
Gerimis lalu
hujan menemani jalan pulang. Dalam perjalanan, aku lebih banyak diam. Aku lega,
setidaknya lampu merah tak mengganggu batinku sebab para pengemis itu
kocar-kacir tak ingin basah. Tapi ada satu dua, kala hujan seperti ini, ember
untuk menampung uang beralih fungsi menjadi ember air sabun. Tugas mereka
mencuci kaca mobil yang berhenti di lampu merah.
Dekat simpang, dari kejauahan ada banyangan
hitam. Saat mobil perlahan mendekat, aku menemukan seorang lelaki tengah duduh
bersimpuh. Usianya entahlah. Yang jelas masih muda. Berjalan menginsut dalam
hujan lebat. Merengek. Oh!
“kalau tidak
hujan, ia tidak ada. Tapi kalau hujan, dia ada. Apakah itu?” Ucapan Suamiku
bernada tebak-tebakan. Tapi aku yakin dia tidak sedang bermain tebak-tebakan.
Pengendara mobil di depan melempar koin kearah lelaki yang tengah melepoh itu. ia
berinsut-insut persis seperti jalan suster ngesot, mengambil koin yang masih
terdengar bunyi dencing saat beradu dengan aspal itu. kedua kaki yang ia miliki
hanya sampai lutut. Entahlah, tapi Ia
sangat memaksimalkan kekurangan untuk merenggut simpati orang lain. Cerdas!
Air mata yang
jatuh ke dalam, salah satunya bisa terkumpul dan berubah menjadi ludah. Kuperhatikan lama. Lelaki itu duduk di aspal
menengadahkan tangan di bawah hujan. Dan kini piuhan hati itu bertambah kuat memintal.
Tanpa tahu apa yang harus dilakukan untuk merubah keadaan.
***
0 komentar:
Posting Komentar