Oleh Susanti Rahim
Masih
jelas saat Buk Pau – guru sekolah dasar — mengatakan jika akhiran ‘ber’ itu
menyatakan musim hujan, “Jadi kalian
harus menyiapkan em... ber”. Begitu keterangan yang beliau berikan agar
mempermudah kami menghafal nama-nama bulan. Terjadi belasan tahun yang lalu.
Bumi masih basah, matahari belum
muncul dari pertapaan ketika aku menuruni anak-anak tangga dengan langkah
dipercepat. Kuliah di jam pertama, pukul
setengah delapan pagi, sungguh merupakan cobaan berat bagi sebagian dari kami. Dahulu,
–katanya— kuliah di jam pertama itu dimulai
pada pukul delapan pagi. Dahulu lagi, –katanya— malah pukul sembilan. Namun
karena makin lama yang masuk makin bertambah banyak, akan tetapi yang keluar
sedikit, haruslah ada solusi. Dengan mempercepat jam kuliah salah satunya agar
seluruh kami bisa mendapat ruang kuliah.
Jalan
menuju halte dipenuhi toko-toko yang berjejer di sisi kiri dan kanan jalan.
Pasarbaru, begitulah tempat ini diberi nama. Pasar yang kecil, tapi cukup untuk
memenuhi kebutuhan anak kos yang hidup dekat kampus. Benar-benar kami harus
berterima kasih pada mereka – penjaga kedai fotokopi, minimarket, toko kue,
penjual bubur ayam, pondok bakso, juga ampera rumah makan yang memudahkan
keberlangsungan hidup kami.
Pagi
dengan cara kehidupan yang beragam.
Hari menunjukkan pukul tujuh lewat
sekian. Hanya kerumunan –atau bisa juga tumpukan— mahasiswa yang memenuhi halte. Padat. Sesak. Hampir semua berdiri,
menunggu kedatangan bus yang entah. inilah pemandangan tiap pagi di halte kami.
Jika bus telah tiba, berebutlah kami naik. Sedikit dorong-mendorong. Tempel
menempel badan. Entah apa pula modelnya kami ini. pintu bus, kedua-duanya, disesaki
perempuan. Lelaki geligaman2
hati menahan.
Di
seberang halte, berjejer angkot hijau mencari celah rejeki. Ianya juga yang
akhirnya membantu kami disaat-saat seperti ini. Perjalanan menuju kampus
memakan waktu kurang sedikit dari setengah jam dengan menggunakan bus –kami
membayar ongkos dua ratus ribu tiap semesternya.
Tak
jauh dari halte, ada pula pangkalan ojek. Tapi ini digunakan jika memang kauharus
berada di kampus sebelum sepuluh menit dari sekarang. Contohnya jika kautelat
bangun—atau memang sulit bangun — dan
yang masuk kelas hari itu dosen “pembunuh”, kaubisa menggunakan jasa yang
terakhir. Tarifnya enam ribu.
Seperti pagiku hari ini. Aku memilih
menggunakan jasa yang ke dua. Seharga uang bergambar Antasari dan waktu tempuh
maksimal lima belas menit. Aku mempercepat langkah. Tak ada klakson-klakson
angkot yang menambah hiruk pikuk jika pagi. Mungkin mereka – para sopir — mengerti bahwa pagi,
rejeki datang sangat cepat. Seiyanya, itu membikin telinga sedikit lega juga,
bukan. Memenuhi penumpang hanya dibutuhkan waktu beberapa menit saja di jam
padat seperti sekarang.
Angkot sudah melaju kencang ketika
sedikit lagi aku hampir sampai. Angkot kosong lain menggantikan angkot yang
baru saja pergi. Mau tak mau sepertinya aku harus menjadi penumpang pertama
yang menunggu sebelas kawan lain. Tiga belas dengan kawan yang di samping
sopir. Biasanya diisi oleh lelaki. Sedikit wanita yang mau. Barangkali takut
dilecehkan. Begitulah ketidaksaling percayaan terjadi tiap pagi. Jika ada yang
menanya kenapa – pada wanita yang takut duduk di samping sopir —, bisa disangsikan bahwa mereka tahu
tentang alasannya. Sebagian dari kami tidak tahu kenapa, dan tidak tahu jawaban
apa, tapi kami melakukannya – menolak untuk duduk di samping sopir angkot.
Aku
merundukkan badan, menaiki angkot mencari tempat yang nyaman; bangku enam tepat
di depan pintu masuk. Ternyata bagi sebagian dari kami, termasuk aku menetapkan
bahwa ada sekat-sekat kenyamanan duduk pada bangku angkot.
Kukeluarkan
gawai3
dan mulai mengotak-atiknya agar tak menunggu terlalu bosan.
Satu persatu kawan mulai masuk.
Satu, dua,...,sepuluh. Wanita semua yang mengisi. Semua merapat ke daerah dekat
dari pintu. Semua ingin sekali duduk dekat pintu. Jangan heran. Dan jangan pula
berburuk sangka. Pagi terlalu khidmat untuk dirusak dengan hal demikian.
Tinggal
satu bangku tersisa. Letaknya paling ujung sudut angkot ‘bangku enam’. Posisi
keramat! Penumpang terakhir harus masuk terbungkuk-bungkuk melewati jalur
sempit yang berisi tungkai-tungkai kaki. Jika ada sepatu yang tertindih oleh
sepatu yang sedang lewat, bunyi daceh4
kerap muncul. Maka harus hati-hati.
Posisi
keramat pada akhirnya diisi oleh dua tipe. Yang pertama, kawan kami yang baik
hati dan tulus ikhlas; kedua, kawan kami yang tergesa karena harus sampai di
kelas tepat waktu.
Ada juga kawan kami yang tahan santing.
Jika mencigap5
pintu angkot, kemudian mendapati tempat duduk yang kosong itu adalah posisi keramat, maka ia tetap berdiri
saja di depan pintu sambil sedikit pandang-memandang ke arah kenek, lalu
mencelingak-celinguk ke dalam, berharap si uda kenek menyuruh kami yang berada
di dalam untuk bergeser. Tapi jika tak ada yang mau bergeser, maka kawan kami
itu pun melenggang ke angkot lain. Maafkan kami, kawan. Ekor kami terlalu berat
untuk berpindah posisi.
Angkot
melaju. Menggiling aspal yang basah. Bias sinar matahari mengenai air yang
tertonggok pada dahan. Seiring dengan tundukan kami yang menatap gawai penuh khidmat. Kami menamai diri
kami mahasiswa, dan dengan sikap seperti ini kami pongah menganggap diri kami orang yang
berpendidikan.
***
1Angkot, Angkutan Kota: sebuah moda transportasi perkotaan yang merujuk kepada kendaraan umum dengan rute yang sudah ditentukan.
2Galigaman, geram; kesal dan jengkel,
3Gawai: Gadget
4Dacehaan: mengeluarkan suara cis
untuk mengungkapkan kekesalan. Dalam budaya minang, hal ini dianggap kurang
sopan.
5mencigap: menengok
Ditunggu kelanjutannya dek :*
BalasHapus